Beranda | Artikel
Aqidah kuat, bangsa hebat
Minggu, 31 Mei 2009

Bukanlah sesuatu yang diragukan oleh setiap orang yang berakal bahwa berdirinya sebuah bangunan dengan kokoh tanpa pondasi merupakan perkara yang mustahil. Demikian pula agama ini, betapa sulit menemukan -atau bahkan tidak ada- sosok seorang muslim yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Islam dan menunaikan berbagai aturannya dengan konsisten kecuali mereka adalah sosok orang-orang yang beraqidah yang lurus.

Yang kita bicarakan bukanlah sekedar semangat tanpa ilmu ataupun gerakan yang tidak dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang matang. Namun yang sedang kita perbincangkan saat ini -di tengah situasi yang penuh dengan terpaan syubhat dan syahwat di atmosfer kehidupan kaum muslimin di berbagai belahan dunia- adalah kemunculan para pemuda yang membangun segala aktifitasnya di atas pedoman-pedoman agama yang bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah dengan mengikuti pemahaman salafush shalih. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap ucapan yang terlontar dari lisan mereka akan dicatat. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap gerak-geriknya selalu diawasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala, Raja Yang Menguasai kerajaan langit dan bumi. Orang-orang yang melandasi langkah-langkahnya dengan niat ikhlas dan mengikuti ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Saudara-saudaraku sekalian, kebangkitan para pemuda yang menyimpan kekuatan iman laksana benteng yang kokoh di dalam jiwa dan raganya bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi di masa seperti ini. Sebagaimana pula orang-orang di masa silam telah menyaksikan sosok para pemuda Kahfi yang dinyatakan oleh Allah tentang keadaan mereka yang patut kita teladani bersama, Allah berfirman yang artinya,

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

“Kami mengisahkan cerita mereka kepada kamu dengan benar, sesungguhnya mereka itu adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (QS. al-Kahfi [18] : 13).

Sebagaimana pula di hari kiamat nanti Allah akan memberikan naungan-Nya kepada sosok pemuda yang tumbuh dalam aktifitas ibadah kepada Rabbnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang hal ini, “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan dari Allah di hari ketika tiada naungan kecuali naungan-Nya,..” di antaranya adalah, “Seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kebangkitan para pemuda dari berbagai belahan dunia untuk membela agama ini dari penghinaan musuh-musuh-Nya adalah kabar gembira yang menyejukkan hati. Namun yang kita sayangkan adalah sebuah kebangkitan yang tidak menjadikan ilmu syar’i dan para ulama sebagai pemandu perjuangan mereka. Mereka bergerak dan bertindak tanpa koordinasi, tanpa perhitungan yang matang, membabi buta dan serampangan. Maka muncullah berbagai aksi pengeboman di tempat-tempat umum, pembunuhan tanpa alasan, gerakan-gerakan rahasia untuk menghasut rakyat dalam rangka menggulingkan pemerintahan, bahkan tidak jarang kita dengar caci maki dan celaan pun mereka arahkan kepada manusia-manusia pewaris para nabi yaitu para ulama.

Saudara-saudaraku sekalian, para pemuda yang merindukan kejayaan Islam dan kaum muslimin di muka bumi ini, ketahuilah bahwa kejayaan yang kita dambakan tidak akan terwujud tanpa keikhlasan, kucuran keringat, perasan pikiran, ketundukan kepada Allah, dan tetesan air mata taubat dan penyesalan. Janganlah anda kira bahwa para sahabat dahulu bisa menang menaklukkan berbagai negeri dalam jangka waktu yang tidak lama, karena kekuatan materi yang mereka miliki. Janganlah anda kira sosok orang yang keras seperti Umar bin Khattab bisa masuk Islam dan menjadi pembelanya hanya semata-mata karena upaya dirinya sendiri ataupun ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun lebih dari itu semua, kemenangan, petunjuk dan ketegaran yang mereka miliki adalah berkat taufik dan anugerah dari Allah ta’ala yang diberikan-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.

Allah ta’ala berfirman tentang Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Kamu tidaklah bisa memberikan petunjuk kepada orang yang kamu senangi akan tetapi Allah yang memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki.” (QS. al-Qashash [28] : 56).

Oleh sebab itu Ibnul Qayyim mengatakan di dalam sebuah kitabnya, “Asas segala kebaikan adalah pengetahuan yang kamu miliki bahwa apa pun yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak Allah inginkan tidak akan terjadi. Dengan demikian maka pastilah bahwasanya segala kebaikan adalah berkat dari nikmat-Nya, sehingga kamu pun wajib mensyukurinya dan merendahkan diri untuk memohon kepada-Nya agar Dia tidak memutus kenikmatan itu darimu. Dan juga menjadi terang bahwasanya segala keburukan itu timbul akibat tidak mendapatkan bantuan dari-Nya dan tertimpa hukuman-Nya. Oleh sebab itu segeralah kamu memohon kepada-Nya agar Dia menghalangimu supaya tidak terperosok ke sana. Dan juga mintalah kepada-Nya agar tidak membiarkan dirimu sendirian dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Semua orang yang mengenal Allah pun telah sepakat bahwa segala kebaikan maka sumbernya adalah karena taufik dari Allah kepada hamba. Dan mereka pun sepakat bahwa segala keburukan merupakan akibat hamba tidak mendapatkan pertolongan dari-Nya…” (al-Fawa’id, hal. 94).

Sesungguhnya perjuangan yang bisa mengantarkan generasi pendahulu umat ini menuju kejayaan bukan akibat kekarnya tubuh mereka, lengkapnya persenjataan mereka, atau harta mereka yang melimpah ruah di mana-mana. Akan tetapi karena Allah ta’ala melihat hati-hati mereka dan Allah menemukan bahwa hati mereka adalah hati-hati yang bersih dari syirik dan ketergantungan hati kepada selain-Nya, itulah hati sebaik-baik golongan manusia yang pernah hidup di jagad raya ini. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan,

إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ

“Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba. Dan Allah dapati hati Muhammad adalah sebaik-baik hati manusia maka Allah pun memilihnya untuk diri-Nya dan Allah bangkitkan dia sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati hamba-hamba yang lain setelah hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah dapati bahwa hati para sahabatnya adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pun menjadikan mereka sebagai pembantu nabi-Nya dan berperang bersama beliau untuk membela agama-Nya…” (HR. Ahmad di dalam Musnadnya, dihasankan al-Albani dalam Takhrij at-Thahawiyah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku (para sahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim). Padahal kita telah mengetahui bersama bahwa baik dan buruk pada manusia dalam pandangan Allah bukanlah karena harta, pangkat, ataupun keelokan parasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah melihat kepada rupa ataupun harta yang kalian miliki. Akan tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Apakah akan kita katakan bahwa para sahabat itu hanya baik dari sisi lahirnya sementara hati mereka tidak ubahnya seperti hatinya Abdullah bin Ubay bin Salul (gembong munafikin)? Padahal Allah juga telah menegaskan di dalam kitab-Nya bahwa orang-orang yang senantiasa mengagungkan syi’ar-syi’ar-Nya -dan para sahabat adalah orang terdepan dalam hal itu- adalah orang-orang yang memendam ketakwaan di dalam lubuk hatinya. Allah ta’ala berfirman,

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah, barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya hal itu muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” (QS. al-Hajj [22] : 32).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan syi’ar-syi’ar Allah adalah perintah-perintah-Nya. Dan salah satu bentuk mengagungkan syi’ar Allah adalah dengan mengagungkan hewan kurban. Hal itu sebagaimana tafsiran yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Yang dimaksud mengagungkannya adalah dengan memilih hewan kurban yang gemuk dan baik.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 5/310).

Nah, bagaimana mungkin akan kita katakan bahwa para sahabat yang tidak hanya memilihkan hewan kurban yang gemuk untuk berkurban; mereka pun rela menyumbangkan apa saja yang mereka punyai demi dakwah Islam, bahkan di antara mereka ada yang rela menyerahkan tubuhnya sendiri untuk menjadi sasaran anak panah demi melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari anak panah orang-orang kafir dalam suatu pertempuran, apakah akan kita katakan bahwa para sahabat adalah para penjahat yang berperilaku laksana musang berbulu domba dan pengkhianat agama yang kembali menjadi kafir sesudah wafatnya Nabi? Bukankah Nabi sendiri telah bersabda dengan wahyu yang diwahyukan kepadanya, “Janganlah kalian mencela para sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidaklah bisa menyamai satu mud (satu genggam dua telapak tangan) infak mereka, tidak juga setengahnya.” (HR. Muslim).

Apakah yang membedakan tubuh kita dengan tubuh para sahabat? Mereka punya kaki, tangan dan indera sebagaimana yang kita miliki. Mereka mengeluarkan harta untuk berinfak dan kita pun mengeluarkannya. Mereka mengerjakan shalat, dan kita pun mengerjakannya seperti mereka. Mereka makan dan minum sebagaimana kita juga butuh makan dan minum. Namun, ketahuilah saudaraku, ternyata apa yang tertancap di dalam dada kita tidak sehebat dan sekokoh yang tertancap di dalam dada para sahabat. Mereka memiliki keimanan laksana gunung. Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Seandainya iman yang dimiliki Abu Bakar ditimbang dengan iman segenap penduduk bumi (selain para nabi, pen), niscaya timbangannya lebih berat daripada timbangan iman mereka.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman). Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Barangsiapa di antara kalian yang ingin meniti sebuah jalan maka ikutilah jalan yang ditempuh oleh para ulama yang sudah meninggal itu yaitu para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah manusia-manusia terbaik dari umat ini. Hati mereka lebih baik, dan ilmu mereka lebih dalam, serta paling sedikit membeban-bebani diri. Suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mentransfer agama-Nya, maka tirulah akhlak dan jalan hidup mereka. Sebab mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” (HR. al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah, dilemahkan al-Albani dalam Takhrij al-Misykat).

Maka janganlah heran apabila kalian mendengar Anas bin Malik radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sesungguhnya kalian benar-benar melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan kalian sangat sepele dan ringan -lebih ringan daripada rambut-, padahal bagi kami yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menganggapnya termasuk perkara yang mencelakakan.” (HR. Bukhari). Lihatlah para sahabat dengan segenap kemuliaan yang mereka sandang -di antara mereka ada sepuluh orang yang dijamin masuk surga, dan seribu empat ratus lebih orang yang dijamin masuk surga- ternyata hati mereka sangatlah lembut dan mulia. Ibnu Abi Mulaikah menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Sahihnya, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka semua merasa khawatir di dalam dirinya terjangkit kemunafikan.” Bandingkanlah dengan kondisi sebagian kita pada hari ini; yang dengan mudah mengerjakan hal-hal yang makruh, yang dengan ringan meninggalkan sebagian kewajiban dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, yang dengan enteng meninggalkan perkara sunnah, yang dengan santai menyia-nyiakan kesempatan untuk meraih perkara yang lebih utama. Aduhai, betapa jauhnya derajat kita dengan mereka laksana jauhnya langit dengan bumi!

Para sahabat adalah orang-orang yang sangat mudah menerima nasihat. Hal itu dapat kita ketahui dalam hadits yang diriwayatkan oleh Irbadh bin Sariyah. Dia menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati kami dengan sebuah nasihat menyentuh yang membuat hati-hati bergetar dan mata mencucurkan air mata…” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Inilah hatinya orang-orang yang benar-benar beriman. Hati yang bergetar ketika disebutkan tentang kebesaran Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah hati mereka bergetar (takut), dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka iman mereka bertambah. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. al-Anfal [8] : 2).

Para sahabat adalah orang-orang yang sangat bersemangat dalam meraih kebaikan. Mereka berlomba-lomba dengan segala kemampuan yang ada untuk bisa meraih ketinggian derajat di sisi-Nya. Karena mereka sadar bahwa kemuliaan di sisi Allah adalah dinilai dengan ketakwaan, bukan dengan uang, kecantikan, jabatan, banyaknya relasi ataupun polularitas. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. al-Hujurat [49] : 13). Salah seorang di antara mereka datang kepada Rasulullah dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang membuat saya dicintai Allah dan disukai oleh manusia…” (HR. Ibnu Majah). Di waktu yang lain ada juga yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku suatu ucapan dalam Islam ini yang tidak akan aku tanyakan kepada selainmu…” (HR. Muslim). Ada lagi yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang bisa memasukkan saya ke dalam surga dan menjauhkan saya dari api neraka…” (HR. Tirmidzi). Orang-orang yang tidak berharta di antara mereka pun ingin beramal sebagaimana orang yang kaya di antara mereka. Mereka mengatakan, “Orang-orang kaya pergi dengan membawa pahala-pahala mereka. Padahal mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sedangkan kami tidak, pen)..” (HR. Muslim). Lihatlah betapa tinggi cita-cita mereka!

Para sahabat adalah orang-orang yang menunjung tinggi sabda-sabda dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbas mengatakan, “Hampir-hampir saja turun hujan batu dari langit kepada kalian; aku katakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, namun kalian justru mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar berkata lain!” (HR. Abdur Razzaq). Bandingkanlah dengan keadaan sebagian orang pada masa belakangan ini yang menolak hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dalih bertentangan dengan akal, bahkan ada lagi yang berani menuduh -hadits yang disepakati para ulama tentang keabsahannya- sebagai hadits yang bertentangan dengan ayat al-Qur’an; sehingga mereka mengatakan bahwa anjing tidak haram dimakan. Ada pula orang-orang yang tidak paham ilmu hadits menolak hadits-hadits ahad dalam masalah aqidah dengan alasan hadits ahad tidak menghasilkan ilmu yakin. Wahai kaum muslimin, kekhilafahan, daulah, dan ketenteraman seperti apakah yang kalian dambakan jika para pejuangnya masih belepotan dengan kerancuan pemikiran dan penyimpangan manhaj semacam ini?!

Para sahabat adalah orang-orang yang mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak, tanpa menyelewengkan dan tanpa menyerupakan. Oleh sebab itu ketika ditanya tentang makna istiwa’ Imam Malik mengatakan, “Istiwa’ sudah dimengerti maknanya. Namun tata caranya tidak diketahui, dan menanyakan tentang caranya adalah bid’ah.” (HR. al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah).

Ini semua menunjukkan kepada kita -wahai umat Islam yang hidup di sepanjang jaman- bahwa kemenangan dan keberhasilan yang digapai oleh para sahabat bukan semata-mata karena tajamnya pedang mereka, keberanian mereka yang sangat luar biasa, ataupun persatuan mereka yang kokoh dan erat. Namun lebih daripada itu semua, keberhasilan yang mereka raih terlahir dari pengagungan hati mereka kepada Sang Penguasa alam semesta Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Kalau ia baik, maka baiklah seluruh anggota badan. Dan kalau ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota badan. Ketahuilah ia adalah jantung.” (HR. Bukhari dan Muslim). Demikianlah pentingnya hati bagi amalan, ibarat jantung bagi anggota badan.

Maka sekarang kita akan bertanya kepada diri kita masing-masing : Di tengah derasnya gelombang dekadensi moral dan kerusakan akhlak, perancuan akidah dan penyesatan pikiran yang melanda umat Islam di negeri ini, apakah ada sosok para pemuda yang giat mempelajari aqidah Islam dan membelanya dari serangan musuh-musuh-Nya. Dia tekuni buku-buku aqidah yang ditulis para ulama; Tsalatsatul Ushul, Qawa’idul Arba’, Kasyfu Syubuhat, Kitabut Tauhid, Fathul Majid dan lain sebagainya untuk memperbaiki dirinya dan kemudian dia gunakan untuk menyadarkan hati-hati kaum muslimin dari tidur panjang mereka, membangkitkan kesadaran mereka untuk kembali kepada kemuliaan Islam yaitu dengan berpegang teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman para sahabat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat sebagian kelompok dengan sebab Kitab ini (al-Qur’an) dan Allah juga akan merendahkan sebagian yang lainnya karenanya.” (HR. Muslim).

Apakah sekarang -di negeri ini- kita bisa memimpikan berdirinya sebuah Negara Islam yang berhukum dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam segala sisi kehidupan, sementara dalam urusan pakaian saja banyak sekali di antara kaum muslimin yang belum mengerti pakaian yang sesuai dengan syari’at -terlebih khusus kaum muslimah-? Apakah kita sekarang bisa mengangankan tegaknya daulah Islam apabila ternyata di tengah-tengah kita pornografi, kesyirikan, kebid’ahan, perbuatan keji dan kemaksiatan dikerjakan dengan terang-terangan di mana-mana? Apakah sekarang kita bisa merindukan berdirinya sebuah kekhilafahan sebagaimana kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz yang sangat keras dalam menegakkan keadilan, padahal di antara kita kezaliman yang paling besar yaitu syirik dibiarkan bahkan dipromosikan melalui berbagai media dan sarana? Apakah kita sekarang bisa mencita-citakan terjadinya perdamaian dan kehidupan yang tenteram, sementara orang-orang yang merusak aqidah umat Islam dan mengobrak-abrik pondasi-pondasi agama berkeliaran dan mengumbar racun-racun pemikiran sehingga memisahkan tubuh kaum muslimin dari ruh mereka? Lihatlah apa yang telah mereka perbuat : Mereka bela mati-matian aliran-aliran sesat demi mengatasnamakan toleransi palsu dan kebebasan ala Iblis yang berani menolak perintah Tuhannya. Seolah-olah mereka mengatakan kepada kita : Silakan kalian bersyahadat namun yakinilah Islam sebagaimana keyakinan Abdullah bin Ubay bin Salul (gembong munafikin)!

Melihat fenomena penyimpangan aqidah yang begitu marak akhir-akhir ini apakah para penggerak dakwah di berbagai penjuru negeri ini tidak tersadar bahwasanya memang sumber kerusakan bangsa ini adalah kerusakan aqidah dan akhlak mereka kepada Rabbnya. Sehingga sudah selayaknya mereka bersatu padu dan bahu membahu membersihkan bumi pertiwi ini dari sampah-sampah kesyirikan, pemikiran liberal dan aliran-aliran sesat lagi menyimpang. Adakah seorang muslim yang mengatakan bahwa orang yang mempersekutukan Allah dalam beribadah sebagai orang yang berakhlak? Di manakah letak kemuliaan akhlak pada diri orang yang berpendapat bahwa kita tidak wajib mengikuti syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Di manakah letak sikap rendah hati pada diri orang yang mengatakan bahwa keyakinan bahwa Islam sudah sempurna merupakan salah satu bentuk kemalasan berpikir?


Artikel asli: http://abumushlih.com/aqidah-kuat-bangsa-hebat.html/